Traveling

Mengenal Kebudayaan Toraja di Ke’te Kesu’

Perjalanan perdana ke Sulawesi Selatan waktu itu menjadi salah satu pengalaman seru dalam hidup gua. Dimulai dengan perjalanan di Kota Makassar dan Kabupaten Maros lalu kemudian melanjutkan ke bagian utara dari salah satu provinsi terluas di Indonesia itu, yaitu Toraja.

Toraja sendiri secara administratif dimekarkan menjadi dua, yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Dan salah satu destinasi yang gua pengen banget ke sana adalah Ke’te’ Kesu’ yang berada di Toraja Utara.

Tiba dan Beristirahat di Enrekang

Setelah kurang lebih 6 jam perjalanan darat ditempuh dengan mobil travel dari Kota Makassar, akhirnya tiba juga gua di Kabupaten Enrekang. Yes, selama eksplorasi gua di Toraja waktu itu, gua menginap di rumah travel mate gua yang kebetulan ia juga asli orang Enrekang. Perjalanan darat dari Makassar ke Enrekang memang lama banget udah kayak perjalanan darat antar provinsi, saking luasnya Sulawesi Selatan ini. Ibaratnya kayak dari Bandar Lampung ke Palembang waktu belum ada tol.

Rumahnya di Kabupaten Enrekang itu berjarak kurang lebih 1 – 2 jam dari destinasi-destinasi di Toraja. Jadi ya lumayan lah, dari pada harus nyari dan sewa penginapan lagi di Toraja. Di rumahnya, gua disuguhkan banyak makanan khas Enrekang, salah satu yang gua suka banget adalah Dangke. Dangke merupakan penganan khas Enrekang yang terbuat dari susu kerbau atau sapi dan diolah secara tradisional dengan cara direbus sampai mendidih dan dicetak sehingga menyerupai sebuah tahu dan rasanya tu kayak keju gitu, pokoknya enak!

Dangke ini biasanya disajikan dengan cara dipanggang atau bisa langsung dimakan gitu aja. Tapi waktu tu, gua disuguhinnya yang udah dipanggang, dan detik itu juga gua langsung suka dengan Dangke yang dipanggang.

Dangke khas Enrekang

Perjalanan Ke Toraja

Setelah lelap tidur di Enrekang dengan udara malam yang dingin banget, karena rumah travel mate gua itu berada di kawasan pegunungan gitu, akhirinya gua memulai perjalanan ke Toraja di hari berikutnya. Pagi-pagi betul sekitar pukul 6:30 gua dan travel mate sudah siap dengan bebawaan seperangkat traveling. Gak lupa bawa kamera buat abadikan momen selama eksplorasi.

Setelah sarapan Jalangkote (gorengan pastel khas Sulawesi Selatan) dan bermodalkan motor pinjaman, gua pun melaju ke arah utara. Dingin? Pasti. Udara pagi dan malam di Enrekang kayak gak jauh beda. Parahnya lagi gua gak bawa jaket, gua cuma ngandelin kemeja lengan panjang untuk melapisi outfit dalam gua waktu itu.

Sekitar 20 menit perjalanan dengan kondisi jalan yang lancar jaya, gua sampai di pintu gerbang perbatasan Enrekang dan Tana Toraja. Karena waktu traveling ke sana di masa pandemi dan bertepatan dengan liburan Nataru (Natal & Tahun Baru), jadi siapa saja yang masuk ke Tana Toraja harus dilengkapi dengan surat antigen negatif. Berbekal surat keterangan itu, gua dan travel mate gua pun lolos pemeriksaan.

Motor pinjaman gua “pacu” dengan cepat, sesekali gua perlambat sambil nikmatin panorama di kiri kanan bahu jalan. Ketika masuk ke kawasan Kabupaten Tana Toraja, memang nuansa yang berbeda muncul. Banyak banget rumah adat Toraja yaitu Tongkonan yang bisa ditemuin selama perjalanan. Karena gak mau ngoyo banget juga, sesekali gua berhenti untuk ambil gambar pemandangan dan lansekap selama perjalanan.

Di artikel blog ini, gua mau cerita tentang gimana gua akhirnya bisa melihat, mengenal dan belajar langsung kebudayaan Toraja di Ke’te Kesu’. Ke’te Kesu’ merupakan desa wisata yang ada di Kabupaten Toraja Utara. Di sana kita bisa lihat langsung rumah-rumah Tongkonan bersejarah berjajar rapi.

Baca juga: Ramang-Ramang Surga Tersembunyi di Sulawesi Selatan

Sesampainya di Kota Makale, Ibu Kota Tana Toraja, gua beristirahat sejenak untuk lepas lelah, sekalian sholat Jum’at di masjid terbesar di Kota Makale yaitu Masjid Raya Makale. Mayoritas penduduk Toraja memeluk agama Kristen Protestan dan dengan adanya Masjid Raya itu menunjukkan kerukunan antar agama yang kental di sana walaupun Islam menjadi minoritas.

Sehabis santap siang yang dikasih oleh pengurus sholat Jum’at, kami putuskan untuk lanjutin perjalanan. Karena masih ada sekitar satu jam lagi untuk bisa sampai di Ke’te Kesu’. Udara dinginnya masih kerasa selama perjalanan, walaupun sebenernya matahari siang itu terik banget bisa bikin kulit gosong.

Tiba di Ke’te Kesu’, Toraja Utara

Akhirnya tiba juga di Rantepao, Toraja Utara. Perjalanan naik motor ke sini bikin tepos, saking jauhnya, naik motor pula. Tapi gua excited aja gitu karena ini salah satu bucket list yang udah gua impikan. Setelah parkirin motor, gua liat suasana di sana langsung takjub dengan rumah Tongkonan tua dan bersejarah yang berjajar rapi. Pandemi yang gak berkesudahan membuat gak banyak orang berkunjung ke desa wisata itu. Pas banget sepi jadi bisa langsung foto-foto hehe… Tapi karena pandemi juga jadi acara-acara adat yang biasa dibuat di sana jadi gak bisa diadakan. Alhasil, gua dan travel mate cuma lihat-lihat tiap detail dari tiap Tongkonan yang ada.

Selain itu, di Ke’te’ Kesu’ ini juga terdapat pasar yang menjajahkan pernak-pernik dan kerajinan khas Toraja, mulai dari gantungan kunci, pajangan, lukisan sampai kain-kain tenun khas Toraja. sama kayak kain tradisional lainnya, kain tenun Toraja ini merupakan warisan turun temurun dari leluhur dan jadi salah satu simbol kemakmuran dan kejayaan dari si pemilik kain. Apalagi kalau si pemilik kain pakai di acara adat, widihhh… serasa mevvah banget gitu! Bahkan zaman dulu, cuma kaum bangsawan dan masyarakat berekonomi mampu aja yang bisa punya kain tenunnya. Gak heran sih harganya mahal-mahal~

Kuburan Batu Ke’te Kesu’

Selain wisata alam dan budaya, Toraja juga dikenal dengan wisata kuburan batunya. Mungkin banyak yang nanya, “ngapain sih jalan-jalan kok liatin kuburan?” Yes! Awalnya juga mikir begitu, tapi di sini gua jadi belajar tentang kebudayaan asli dari orang Toraja. Bentuk pemakaman seperti ini mungkin hanya ada di Toraja dan ini merupakan salah satu bukti kekayaan tradisi penguburan di dinding tebing atau perbuktian yang cuma bisa dilihat di sini aja.

Dari hal itu juga gua bisa belajar, bahwa sebuah sejarah dari suatu tradisi gak akan bisa lepas dari kondisi geografis alam di sekitarnya. Sama halnya sejarah dan tradisi di Toraja yang mana suku Toraja tinggal di wilayah pegunungan dan perbukitan sehingga muncul lah tradisi pemakaman yang unik seperti sekarang ini.

Yang gua pelajarin juga, jauh sebelum agama Kristen Protestan masuk ke suku Toraja, masyarakat di sini menganut kepercayaan yang namanya Aluk Todolo. Kepercayaan ini lah yang sampai sekarang masih dipelihara secara rapi. Aluk Todolo itu merupakan aturan tatanan hidup yang berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem pemerintahan serta sistem kemasyarakatan masyarakat Toraja. Nah, masyarakat Toraja ini punya kesadaran yang kuat banget akan sebuah kehidupan dan kematian, di mana mereka percaya kalau kehidupan itu sifatnya hanya sementara waktu.

Cara Penguburan di Kuburan Batu Toraja

Semakin tinggi suatu jenazah yang ditelakin di gunung atau bukit, maka semakin cepat juga rohnya akan sampai di nirwana. Begitu kepercayaan mereka. Oh ya, kalau misalnya kita lihat ada kuburan batu di situ, artinya rumah atau keluarga yang tinggal pasti gak jauh dari situ juga. Karena mereka percaya, roh-roh para leluhur dan keluarganya jadi bisa dekat dan mengawasi mereka terus.

Nah, di Ke’te Kesu’ ini gua bisa lihat ada tiga cara atau proses peletakan jenazahnya. Pertama, meletakan jenazah di peti terus dimasukin ke dalam goa atau bukit yang dibobok hingga terbentuk lubang terus dibuatin patung yang menyerupai si jenazah atau biasa disebut Tau-tau. Kedua, jenazah diletakan di rumah kecil atau ukiran batu. Ketiga, jenazah dimasukkan ke peti dan dilekatkan di atas tebing dengan penyanggah atau bisa juga diletakkan di tanah gitu aja.

Kira-kira begitu sih perjalanan gua ke Ke’te Kesu’ kali ini. Selain baca-baca artikel dan buku tentang kebudayaan, ya begini nih serunya belajar kebudayaan dan tradisi secara langsung. Rasanya tu lebih kena aja. Ya mudah-mudah kita juga bisa berkunjung ke tempat-tempat seru lainnya dan bisa belajar tentang budayanya langsung di sana.

Firdaus Soeroto

He is the second child of three children coming from a humble family background, and he is feeling blessed to be where and what he is today.

Related Articles

31 Comments

  1. Daus, apa penduduk sekarang yg udah bukan penganut Aluk Todolo masih ngejalanin tradisi itu yaitu penguburan di batu ?..
    Kl udah ngga, kira2 apa udah lama tradisi ini ditinggalin?..

    Btw, good sharing!

    1. Kalau sekarang udah atau bukan, jujur gua kurang tau detail Feb. Tapi setau gua waktu singgah ke salah satu warga Toraja, mereka bilang sekarang mayoritas hampir semua udah Nasrani dan terkait tradisi penguburan itu sampe sekarang masih berlaku dan melekat gitu, kayak di Bali deh praktik agama Hindu di Bali masih dan melekat dengan tradisi dan budaya di sana, beda halnya dengan Hindu yang ada di India. CMIIW.

  2. Artikel yang bagus mas firdaus =)
    Pemeluk agama aluk todolo sudah sangat berkurang mas. Banyak masyarakat toraja memilih untuk jadi pemeluk agama nasrani. Namun, aluk todolo telah melebur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat toraja. Seperti dalam acara pemakaman.

    Cerita-cerita tentang kearifan lokal dan budaya, seperti di toraja memang tidak bosan untuk dikulik. Halnseperti ini mampu jadi gambaran betapa kayanya kebudayaan dan tradisi bangsa indonesia.

    1. Betul, Mas Rivai. Selalu suka dengan tradisi dan budaya yang beda, apalagi bisa belajar langsung ke sana. Terima kasih udah mampir ke sini ya.

  3. Perjalanan yang sangat menarik sekali Mas Daus, sekalian mau bertanya, itu rumah rumah Tongkonannya ditempati kah untuk tinggal, atau hanya untuk keperluan wisata aja, untuk Danke masih penasaran, soalnya kita masyarakat batak juga ada makanan seperti itu, tapi tidak dipanggang, sampai saat ini saya masih penasaran kenapa ada banyak persamaan antara Toraja dengan Batak Toba ya, mulai rumah adat, silsilah hingga makanan, padahal kedua suku ini terpisah jarak yang sangat jauh dan bahkan berbeda pulau

    1. Terima kasih Mas Ruly. Rumah Tongkonan di Ke’te Kesu’ kebanyakan hanya digunakan untuk keperluan wisata aja Mas. Jadi ada 2 jenis gitu, setau saya ya, ada yang sebagai rumah ada juga yang dijadikan tempat untuk menyimpan hasil panen seperti padi dll. Untuk kesamaan budaya Toraja dan Batak Toba, jujur waktu main ke rumah warga di Toraja terus ngobrol, dia sempet singgung soal ini Mas, dan dia juga meyakini cerita kalo kebudayaan dari dua tempat itu hampir sama karena ceritanya nenek moyang mereka sama.

  4. Ah jadi kangen sama Toraja, belum sempat juga nyobain danke itu. Btw Toraja itu mirip banget sama Toba ya, sampai ke ambiancenya juga bisa mirip banget gitu, padahal jauh jauhan.

  5. Pas banget kesana lagi pandemi jadi sepi dan bebas buat foto-foto kak. Tana Toraja kaya akan budaya, seru bisa belajar langsung. Wisata sambil belajar budaya. Keren

  6. Soal Dangke…
    Pertama, dangke itu kalau bahasa Jerman artinya terima kasih 🙂
    Kedua, makanan serupa saya pernah jumpai ada di pasar Bukittinggi, susu kerbau beku yang ditaruh dalam bambu. Tapi belum tahu rasanya gimana.

  7. Seru banget ya bisa langsung melihat kehidupan orang Toraja beserta budayanya. Menarik sekali dari rumah-rumah sampai tradisi pemakamannya. Memiliki makna tersendiri.

  8. Itu view pemandangan rumah adat yang ada semacam kolam di depannya di sebelah mana ya, kok pas gue ke sana ga nemu begituan sih

  9. Gara2 pandemi, toraja jadi sepi. Padahal ada kebudayaan yang tidak ada di tempat lain di Indonesia selain disini. Walopun masih ada aja yang julid toraja cuman jualan mayat. Hadeeehh

  10. Hai Kak Firdaus. Aseli saya suka gaya penulisan kakak di artikel ini. Cerita perjalanan melted dengan informasi2 penting mengenai transportasi, budaya, kesan maupun pesannya secara asik sampai ke pembacanya. Dengan membaca ‘ Mengenal Kebudayaan Toraja di Ke’te Kesu’ serasa kita ikut ke / berada sana juga. Ditunggu lho kak tulisan menarik berikutnya. Thanks

  11. Keren banget mas. Ke sana solo backpaker pula.
    Dangke itu saya kira dari Jerman lho hehehe
    *Danke

    Semoga saya bisa ke sana. Salah satu bucket list juga nih.

  12. Penasaran sama dangke. Unik juga ya dari susu kerbau atau sapi terus dicetak dan dipanggang.

    Oh iya baca tulisan ini jadi ingat cerita teman kantor yg emg orang asli Toraja. Mereka emg sangat percaya banget sama yg namanya ruh orang meninggal itu akan tetap ada buat jagain anggota keluarga yg masih hidup

  13. daebak…ternyata ada olahan keju kearifan lokal, Dangke.

    makasiihhh udah di ajak jalan jalan ke Toraja beb, udah kepo lama tentang kebudayaan disana tapi belum ada kesempatan mengunjungi sana langsung.

  14. Meski ga ada upacara adat saat pandemi kalau sepi begini jadi bisa menikmati benar budaya Toraja. Termasuk destinasi yang masih terjaga keasliannya. Senang sekali baca update Toraja di artikel ini…lengkap dan informatif ceritanya. Thanks

  15. Ya ampun kerennya..amazing! Hampir speechless rasanya aku menghayati alur cerita dan perjalanannya hahaha..luar biasa kakak..sungguh sebuah pengalaman yang berharga sekali ya…
    Punya travel mate juga sepertinya seru juga sebuah anugerah ya..selain bisa berkunjung ke tempat tinggalnya, jadi tahu dan mencicipi makanan2 khasnya juga mengeksplorasi tempat wisata disana plus merasakan udara, sensasi juga vibrasinya tentunya.
    Belajar sejarah, budaya hingga tradisi menurutku yang paling pas dan menyenangkan memang mengenalinya secara langsung, syukur-syukur mendatanginya..nah, kakak sudah mendptkn semuanya..beruntung sekali! Meski menurutku agak ngeri2 sedap juga ya menelusuri hal ‘kematian’ seperti itu, tapi disanalah juga nilai dan banyak hal berharga lainnya yang tentunya bisa didapatkan dan dibagi. Terus dan selamat menjelajah ya!

  16. dauuusss, aku penasaran banget tau sama prosesi pemakaman di kete kesu sama prosesi pembawaan jenazahnya kan emang digendong2 gitu kan, naik-naik ke bukit lagi

  17. Artikel yang bagus Mas. Cuma aku penasaran, btw si dangke itu rasanya seperti apa ya? Apakah sudah manis atau gurih?

    Btw, semoga aku juga bisa ke sana dan lihat pas upacara pemakamannya. Soalnya penasaran

  18. Peti yang di taro di atas goa seperti goa nya pasti udah disiapkan dari jauh2 hari ya kak, biasanya dilihat dari keturunannya atau apa kak orang yang meninggal di toraja? Menentukan juga dia akan dimakamkan dimana gak kak?

  19. Aku itu salfok sama dangke lho, sekilas mirip Uli wkwk tapi kalau katanya kaya keju berarti empuk ya kak?

    Terus yg prosesi pemakaman ditaro kaya di goa gitu jg menarik perhatian kali, kok gak serem ya begitu 😬

  20. Wihh belum kesampean eksplor Toraja….kayaknya seru banget ya…apalagi eksplor budayanya…traveling di masa pandemi memang ada plus minusnya ya…cuma kayaknya ttp lebih seru pas gak pandemi…hehehe…oiyaa…vibes di area kete kesu gimana kak…?horor gitu gak sih…

  21. Hallo Kak Daus, Terima kasih informasinya. Btw dangke itu rasanya seperti apa? Manis atau gurih?

    Semoga nanti bisa kesana juga pas acara upacara pemakaman ya, penasaran. Pingin lihat. Btw thanks for sharing ya!

  22. Eh danke rasanya kayak keju? Wah jadi penasaran. Ke’te kesu ini terkenal banget sih ya. Tradisinya masih kental banget. Tapi kalo di area situ kerasa2 apa gitu nggak sih?

  23. Penasaran sama Dangke. Jadi setelah komen ini bakalan nyobain keju dibakar gitu. Cuma mikir, kalau keju biasa leleh ga yah. (Maklum baru ajah vaksin, bawaanya pengen makan ajah.) 😆🙊🙊

  24. Danke kayaknya lumer di mulut ya, kak. Terutama yg belum dipanggang itu. Jadi penasaran sama rasanya. Soalnya aku suka keju, mungkin cocok di lidah kalau makan Danke, hehe

    Budaya Indonesia memang kaya banget ya, Kak. Kesempatan langka bisa langsung belajar budaya & sejarah masyarakat kita. Kayanya kalau orangnya penakut kayak aku agak ngeri lihat tengkorak sebanyak itu. Mayat juga cuma diletakkan dalam peti. Duh!

    Tapi di sisi lain, menarik banget! Thanks for sharing kak!

  25. Enak dangke nya bang, apalagi itu dari susu sapi ya, gurih kayak keju.😀

    Berarti masih banyak penduduk Toraja yang memakamkan jenazah di tebing seperti itu ya bang?

    Salut buat bang firdaus berani rekreasi ke kuburan apalagi lihat tengkorak gitu, kalo aku takut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button